A. Karakter dalam Persepektif Pendidikan
Secara harfiah karakter artinya “kualitas mental atau moral, kekuatan moral, nama atau reputasi ” (Hornby dan Pornwell, 1972: 49). Dalam kamus Psikologi dinyatakan bahwa karakter adalah kepribadian ditinjau dari titik tolak etis atau moral, misalnya kejujuran seseorang yang biasanya mempunyai kaitan dengan sifat-sifat yang relative tetap (Dali Gulo, 1982: 29). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat.
Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME), diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia insan kamil. Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (stakeholders) harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, kualitas hubungan, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan etos kerja seluruh warga dan lingkungan sekolah. Pendidikan karakter dapat diintegrasikan dalam pembelajaran pada setiap mata pelajaran. Materi pembelajaran yang berkaitan dengan norma atau nilai-nilai pada setiap mata pelajaran perlu dikembangkan, dieksplisitkan, dikaitkan dengan konteks kehidupan sehari-hari. Dengan demikian pembelajaran nilai-nilai karakter tidak hanya pada tataran kognitif, tetapi menyentuh pada internalisasi dan pengamalan nyata dalam kehidupan peserta didik sehari-hari di masyarakat. Pendidikan karakter bertujuan untuk meningkatkan mutu penyelenggaraan dan hasil pendidikan di sekolah yang mengarah pada pencapaian pembentukan karakter dan akhlak mulia peserta didik secara utuh, terpadu, dan seimbang, sesuai standar kompetensi lulusan. Melalui pendidikan karakter diharapkan peserta didik mampu secara mandiri meningkatkan dan menggunakan pengetahuannya, mengkaji dan menginternalisasi serta mempersonalisasi nilai-nilai karakter dan akhlak mulia sehingga terwujud dalam perilaku sehari-hari. Melalui program ini diharapkan setiap lulusan memiliki keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, berkarakter mulia, kompetensi akademik yang utuh dan terpadu, sekaligus memiliki kepribadian yang baik sesuai norma-norma dan budaya Indonesia. Pada tataran yang lebih luas, pendidikan karakter nantinya diharapkan menjadi budaya sekolah.
Pendidikan karakter di sekolah sangat terkait dengan manajemen atau pengelolaan sekolah. Pengelolaan yang dimaksud adalah bagaimana pendidikan karakter direncanakan, dilaksanakan, dan dikendalikan dalam kegiatan-kegiatan pendidikan di sekolah secara memadai. Pengelolaan tersebut antara lain meliputi, nilai-nilai yang perlu ditanamkan, muatan kurikulum, pembelajaran, penilaian, pendidik dan tenaga kependidikan, dan komponen terkait lainnya. Dengan demikian manajemen sekolah merupakan salah satu media yang efektif dalam pendidikan karakter di sekolah.Pada tataran sekolah, kriteria pencapaian pendidikan karakter adalah terbentuknya budaya sekolah. Budaya sekolah yang dimaksud yaitu perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian, dan simbol-simbol yang dipraktikkan oleh semua warga sekolah dan masyarakat sekitar sekolah.
B. Urgensi Pendidikan Karakter
Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan Nasional sudah mencanangkan penerapan pendidikan karakter untuk semua tingkat pendidikan dari SD hingga Perguruan Tinggi. Munculnya gagasan program pendidikan karakter dalam dunia pendidikan di Indonesia dapat dimaklumi, sebab selama ini dirasakan proses pendidikan ternyata belum berhasil membangun manusia Indonesia yang berkarakter. Banyak yang menyebut bahwa pendidikan telah gagal membangun karakter. Banyak lulusan sekolah dan sarjana yang pandai dalam menjawab soal ujian, berotak cerdas, tetapi mentalnya lemah, penakut, dan perilakunya tidak terpuji.
Pembangunan karakter perlu dilakukan oleh manusia. Senada dengan hal tersebut, Ellen G. White dalam Sarumpaet (2001: 12) mengemukakan bahwa pembangunan karakter adalah usaha paling penting yang pernah diberikan kepada manusia. Pembangunan karakter adalah tujuan luar biasa dari sistem pendidikan yang benar. Pendidikan rumah tangga maupun pendidikan dalam sekolah, orang tua dan guru tetap sadar bahwa pembangunan tabiat yang agung adalah tugas mereka. Menurut Mochtar Buchori (2007) (dalam www.tempointeraktif .com/hg/kolom/…/kol,20110201-315,id.html) pendidikan karakter seharusnya membawa peserta didik ke pengenalan nilai secara kognitif, penghayatan nilai secara afektif, dan akhirnya ke pengamalan nilai secara nyata. Permasalahan pendidikan karakter yang selama ini ada di sekolah perlu segera dikaji dan dicari altenatif-alternatif solusinya serta perlu dikembangkannya secara lebih operasional sehingga mudah diimplementasikan. Banyak hasil penelitian yang membuktikan bahwa karakter seseorang dapat mempengaruhi kesuksesan seseorang. Di antaranya berdasarkan penelitian di Harvard University Amerika Serikat (http://akhmadsudrajat.Wordpress .com/…/pendidikan-karakter-di-smp/), ternyata kesuksesan seseorang tidak ditentukan semata-mata oleh pengetahuan dan kemampuan teknis (hard skill) saja, tetapi lebih oleh kemampuan mengelola diri dan orang lain (soft skill). Penelitian ini mengungkapkanbahwa kesuksesan hanya ditentukan sekitar 20 persen oleh hard skill dan sisanya 80 persen olehsoft skill. Bahkan orang-orang tersukses di dunia bisa berhasil dikarenakan lebih banyak didukung kemampuan soft skill daripada hard skill. Hal ini mengisyaratkan bahwa mutu pendidikan karakter peserta didik sangat penting untuk ditingkatkan. Sementara itu Ratna Megawangi (2007) dalam bukunya “Semua Berakar Pada Karakter” mencontohkan bagaimana kesuksesan Cina dalam menerapkan pendidikan karakter sejak awal tahun 1980-an. Menurutnya pendidikan karakter adalah untuk mengukir akhlak melalui proses knowing the good, loving the good, and acting the good (suatu proses pendidikan yang melibatkan aspek kognitif, emosi, dan fisik, sehingga berakhlak mulia). Character Educator yang diterbitkan oleh Character Education Partnership(http://pondokibu.com/parenting/pendidikan-psikologi-anak/dampak-pendidikan-karakter-terhadap-akademi-anak/) menguraikan bahwa hasil studi Dr. Marvin Berkowitz dari University of Missouri- St.Louis, menunjukan peningkatan motivasi siswa sekolah dalam meraih prestasi akademik pada sekolah-sekolah yang menerapkan pendidikan karakter. Kelas-kelas yang secara komprehensif terlibat dalam pendidikan karakter menunjukan penurunan drastis pada perilaku negatif siswa yang dapat menghambat keberhasilan akademik. Pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti plus, yaitu yang melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action). Sejalan dengan hal di atas, menurut Thomas Lickona tanpa ketiga aspek ini pendidikan karakter tidak akan efektif dan pelaksanaannya pun harus dilakukan secara sistematis dan berkelanjutan. Dengan pendidikan karakter, seorang anak akan menjadi cerdas emosinya. Kecerdasan emosi adalah bekal terpenting dalam mempersiapkan anak menyongsong masa depan, karena dengannya seseorang akan dapat berhasil dalam menghadapi segala macam tantangan termasuk tantangan untuk berhasil secara akademis. Sebuah buku berjudul EmotionalIntelligence and School Success karangan Joseph Zins (2001) (dalamhttp://pondokibu.com/parenting /pendidikan-psikologi-anak/dampak-pendidikan-karakter-terhadap-akademianak/) mengkompilasikan berbagai hasil penelitian tentang pengaruh positif kecerdasan emosi anak terhadap keberhasilan di sekolah. Dalam buku itu dikatakan bahwa ada sederet faktor-faktor resiko penyebab kegagalan anak di sekolah. Faktor-faktor resiko yang disebutkan ternyata bukan terletak pada kecerdasan otak tetapi pada karakter, yaitu rasa percaya diri, kemampuan bekerja sama, kemampuan bergaul, kemampuan berkonsentrasi, rasa empati, dan kemampuan berkomunikasi. Berkaitan dengan hal di atas, Daniel Goleman (yang dikutip dalamhttp://pondokibu.com/parenting/pendidikan-psikologi-anak/dampak-pendidikan-karakter-terhadap-akademi-anak/) menerangkan bahwa keberhasilan seseorang di masyarakat, ternyata 80 persen dipengaruhi oleh kecerdasan emosi dan hanya 20 persen ditentukan oleh kecerdasan otak (IQ). Anak-anak yang mempunyai masalah dalam kecerdasan emosinya akan mengalami kesulitan belajar, bergaul dan tidak dapat mengontrol emosinya. Anak-anak yang bermasalah ini sudah dapat dilihat sejak usia prasekolah dan kalau tidak ditangani akan terbawa sampai usia dewasa. Sebaliknya para remaja yang berkarakter atau mempunyai kecerdasan emosi tinggi akan terhindar dari masalah-masalah umum yang dihadapi oleh remaja seperti kenakalan, tawuran, narkoba, miras, perilaku seks bebas, dan sebagainya. Selain itu Daniel Goleman juga mengatakan bahwa banyak orang tua yang gagal dalam mendidik karakter anak-anaknya. Entah karena kesibukan atau karena lebih mementingkan aspek kognitif anak. Pendidikan karakter di sekolah sangat diperlukan, walaupun dasar dari pendidikan karakter adalah di dalam keluarga. Apabila seorang anak mendapatkan pendidikan karakter yang baik dari keluarganya, anak tersebut akan berkarakter baik selanjutnya. Banyak orang tua yang lebih mementingkan aspek kecerdasan otak ketimbang pendidikan karakter. Berdasarkan hal tersebut terbukti bahwa pentingnya pendidikan karakter, baik di rumah ataupun di pendidikan formal.
C. Peran Guru dalam Pendidikan Karakter
Membangun peradaban sebuah bangsa pada hakikatnya adalah pengembangan watak dan karakter manusia unggul dari sisi intelektual, spiritual, emosional, dan fisikal yang dilandasi oleh fitrah kemanusiaan. Fitrah adalah titik tolak kemuliaan manusia, baik sebagai bawaan seseorang sejak lahir atau sebagai hasil proses pendidikan. Nelson Black dalam bukunya yang berjudul “Kapan Sebuah Bangsa Akan Mati” (dalam Alen Marlis, 2010) menyatakan bahwa nilai-nilai akhlak, kemanusiaan, kemakmuran ekonomi, dan kekuatan budaya merupakan sederet faktor keunggulan sebuah masyarakat yang humanis. Sebaliknya kebejatan sosial dan budaya merupakan faktor penyebab kemunduran sebuah peradaban. Pada Kongres Pendidikan se-Indonesia yang digelar di Yogyakarta bulan Oktober 1949, almarhum Ki Hadjar Dewantara (dalamhttp://alenmarlissmpn1gresik.wordpress.com/2010 /10/03/manfaat-karakteristik-pendidikan-bagi-guru-untuk-membangun-peradaban-bangsa/) dari Taman Siswa mengatakan bahwa hidup haruslah diarahkan pada kemajuan, keberadaban, budaya dan persatuan, dan masyarakat seharusnya tidak menolak elemen-elemen yang datang dari peradaban asing. Ini adalah demi mendorong proses pertumbuhan dan pemerkayaan yang lebih lanjut bagi kehidupan nasional serta secara mutlak untuk menaikkan martabat kebanggaan bangsa Indonesia. Terlepas dari persoalan kuantitatif maupun kwalitatif tersebut, dalam konteks pembangunan sektor pendidikan, guru merupakan pemegang peran yang amat sentral dalam proses pendidikan. Upaya meningkatkan profesionalisme para pendidik adalah suatu keniscayaan. Guru harus mendapatkan program-program pelatihan secara tersistem agar tetap memiliki profesionalisme yang tinggi dan siap melakukan adopsi inovasi. Guru juga harus mendapatkan ”Reward ” (tanda jasa), penghargaan dan kesejahteraan yang layak atas pengabdian dan jasanya,sehingga setiap inovasi dan pembaruan dalam bidang pendidikan dapat diterima dan dijalaninya dengan baik. Di sinilah kemudian karakteristik pendidikan guru memiliki kualitas ketika menyajikan bahan pengajaran kepada subjek didik. Kualitas seorang guru dapat diukur dari segi moralitas, bijaksana, sabar dan menguasai bahan pelajaran ketika beradaptasi dengan subjek didik. Sejumlah faktor itu membuat dirinya mampu menghadapi masalah-masalah sulit, tidak mudah frustasi, depresi atau stress secara positif, dan tidak destruktif.
Dalam karakter pendidikan guru penting sekali dikembangkan nilai-nilai etika dan estetika inti seperti kepedulian, kejujuran, keadilan, tanggung jawab, dan rasa hormat terhadap diri dan orang lain bersama dengan nilai-nilai kinerja pendukungnya seperti ketekunan, etos kerja yang tinggi, dan kegigihan sebagai basis karakter yang baik. Guru harus berkomitmen untuk mengembangkan karakter peserta didik berdasarkan nilai-nilai Yang dimaksud sertamendefinisikannya dalam bentuk perilaku yang dapat diamati dalam kehidupan sekolah sehari-hari. Yang terpenting adalah semua komponen sekolah bertanggung jawab terhadap standar-standar perilaku yang konsisten sesuai dengan nilai-nilai inti.
Seseorang dapat dikatakan berkarakter jika telah berhasil menyerap nilai dan keyakinan yang dikehendaki masyarakat serta digunakan sebagai kekuatan moral dalam hidupnya. Demikian juga seorang pendidik dikatakan berkarakter, jika memiliki nilai dan keyakinan yang dilandasi hakikat dan tujuan pendidikan serta digunakan sebagai kekuatan moral dalam menjalankan tugasnya sebagai pendidik. Dengan demikian pendidik yang berkarakter, berarti telah memiliki kepribadian yang ditinjau dari titik tolak etis atau moral, seperti sifat kejujuran, amanah, keteladanan, ataupun sifat-sifat lain yang harus melekat pada diri pendidik. Pendidik yang berkarakter kuat tidak hanya memiliki kemampuan mengajar dalam arti sempit (transfer pengetahuan/ilmu), melainkan juga harus memiliki kemampuan mendidik dalam arti luas(keteladanan sehari-hari).
D. Mengembangkan Pendidikan Karakter di Sekolah
Pendidikan Karakter perlu dikembangkan di sekolah. Sebagai upaya untuk meningkatkan kesesuaian dan mutu pendidikan karakter, Kementerian Pendidikan Nasional mengembangkangrand design pendidikan karakter untuk setiap jalur, jenjang, dan jenis satuan pendidikan. Grand design menjadi rujukan konseptual dan operasional pengembangan, pelaksanaan, dan penilaian pada setiap jalur dan jenjang pendidikan. Adapun acuan konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses psikologis dan sosial-kultural tersebut dikelompokan sebagaimana uraian berikut.
1. Olah Hati (Spiritual and emotional development). Olah hati bermuara pada pengelolaan spiritual dan emosional.
2. Olah Pikir (intellectual development). Olah pikir bermuara pada pengelolaan intelektual.
3. Olah Raga dan Kinestetik (Physical and kinestetic development). Olah raga bermuara pada pengelolaan fisik.
4. Olah Rasa dan Karsa (Affective and Creativity development). Olah rasa bermuara pada pengelolaan kreativitas
Pengembangan pendidikan karakter bisa menggunakan kurikulum berkarakter atau “Kurikulum Holistik Berbasis Karakter” (Character-based Integrated Curriculum). Kurikulum inimerupakan kurikulum terpadu yang menyentuh semua aspek kebutuhan anak. Sebuah kurikulum yang terkait, tidak terkotak-kotak dan dapat merefleksikan dimensi, keterampilan, dengan menampilkan tema-tema yang menarik dan kontekstual.
Bidang-bidang pengembangan yang ada di TK dan mata pelajaran yang ada di SD yang dikembangkan dalam konsep pendidikan kecakapan hidup yang terkait dengan pendidikan personal dan sosial, pengembangan berpikir/kognitif, pengembangan karakter dan pengembangan persepsi motorik juga dapat tersusun dengan baik apabila materi ajarnya dirancang melalui pembelajaran yang terpadu dan menyeluruh (Holistik). Pembelajaran holistik terjadi apabila kurikulum dapat menampilkan tema yang mendorong terjadinya eksplorasi atau kejadian-kejadian secara autentik dan alamiah. Dengan munculnya tema atau kejadian yang alami ini akan terjadi suatu proses pembelajaran yang bermakna dan materi yang dirancang akan saling terkait dengan berbagai bidang pengembangan yang ada dalam kurikulum.
Pembelajaran holistik berlandaskan pada pendekatan inquiry, dimana anak dilibatkan dalam merencanakan, bereksplorasi dan berbagi gagasan. Anak-anak didorong untuk berkolaborasi bersama teman-temannya dan belajar dengan “cara” mereka sendiri. Anak-anak diberdayakan sebagai si pembelajar dan mampu mengejar kebutuhan belajar mereka melalui tema-tema yang dirancang. Sebuah pembelajaran yang holistik hanya dapat dilakukan dengan baik apabila pembelajaran yang akan dilakukan alami, natural, nyata, dekat dengan diri anak, dan guru-guru yang melaksanakannya memiliki pemahaman konsep pembelajaran terpadu dengan baik. Selain itu juga dibutuhkan kreativitas dan bahan-bahan atau sumber yang kaya serta pengalaman guru dalam berlatih membuat model-model yang tematis juga sangat menentukan kebermaknaan pembelajaran.
Tujuan model pendidikan holistik berbasis karakter adalah membentuk manusia secara utuh (holistik) yang berkarakter, yaitu mengembangkan aspek fisik, emosi, sosial, kreativitas, spiritual dan intelektual siswa secara optimal. Selain itu untuk membentuk manusia yang lifelong learners (pembelajar sejati) bisa dilakukan dengan beberapa langkah sebagaimana uraian berikut.
1) Menerapkan metode belajar yang melibatkan partisipasi aktif murid, yaitu metode yang dapat meningkatkan motivasi murid karena seluruh dimensi manusia terlibat secara aktif dengan diberikan materi pelajaran yang konkrit, bermakna, serta relevan dalam konteks kehidupannya (student active learning, contextual learning, inquiry-based learning, integrated learning).
2) Menciptakan lingkungan belajar yang kondusif (conducive learning community) sehingga anak dapat belajar dengan efektif di dalam suasana yang memberikan rasa aman, penghargaan, tanpa ancaman, dan memberikan semangat.
3) Memberikan pendidikan karakter secara eksplisit, sistematis, dan berkesinambungan dengan melibatkan aspek knowing the good, loving the good, and acting the good.
4) Metode pengajaran yang memperhatikan keunikan masing-masing anak, yaitu menerapkan kurikulum yang melibatkan juga 9 aspek kecerdasan manusia.
5) Seluruh pendekatan di atas menerapkan prinsip-prinsip.
Disadur dari : edukasi.kompasiana.com